Pada usia yang tidak muda lagi, kakek dari 1 orang buyut ini
tetap semangat melakukan pekerjaan bertani. Layaknya orang muda lainnya, Mbah
Muritno masih gesit membari
memegang cangkul jalan di pematang sawah.
Sembari
duduk sesaat di gubuk, saya berbincang dengan Mbah Muritno. Mbah Muritno
lahir Karang Anyar (Jateng) Mei 1935. Ia menghabiskan masa kecil hingga lulus STM di Karang Anyar di lingkungan kelurganya. Ia sudah harus berpisah dengan Orang
tuanya yang telah lebih dahulu merantau
ke Lampung sejak ia
masih di Sekolah Dasar.
Muritno pertama
kali ia menginjak tanah di Lampung pada 1959. Ia merantau ke Lampung bukan
untuk menyusul orang tuanya. Beragam pekerjaan dan usaha pernah ia jalani. Mulai dari bekerja di PLN
(Sebagi penunggu mesin) hingga menjdi anak buah kapal yang melaut.
Baru pada tahun 1962 ia bisa berkumpul orang tuanya di Sekampung Lampung Timur. Ia kemudian menjadi pedagang beras yang ia ambil
dari Sekampung kemudian dijual ke Pasar Metro. hingga menampung hasil bumi
milik warga masyarakat untuk kemudian ia jual kembali ke pasar. Ia Menikah pada tahun 1965.
Keseharian
Muritno dilalui dengan kerja keras. Dengan mengayuh sepeda membawa
karung Muritno berkeliling
dari dari stu kampung ke kampung lain. Ia membeli Hasil bumi dari warga
masyarakat untuk kemudian ia jual kembali.
Hingga pada tahun 1972, satu hari ia bekeliling mulai
dari ke Desa Bumi Jawa (Sekarang Masuk di Kecamatan Batang Hari Nuban, Lamtim)
ia di tawari 2 karung Tiwul (makanan berbahan dasar singkong) untuk di beli. Maka ia pun membenlinya, namun ia titipkan
dulu sementara di rumah si penjual tiwul. Ia kemudian melnjutkan perjalanan ke
Desa Taman Asri, Diana ditawari 2 batang pohon kedondong untuk dibeli buahnya.
Ia pun kemudian membeli, dan berpesan pada penjual agar buah kedondong itu di
jaga hingga waktu pemetikan.
Hari itu
juga ia tetap melanjutkan perjalanan hingga ke Desa Tanjung Kesuma. Ia bertemu Sujiono
yang dalam perbincangan kemudian menawarkan tanah kepadanya. Singkat cerita Sujiono
kemudian menjual tanah seluas 7.500 meter persegi seharga Rp. 60.000, kepada Muritno. Menurut Muritno tanah ini
mulanya semak belukar. Sekalipun sudah ada pematang (Karena telah di cetak
sawah), namun kondisinya tidak terurus.
Melalui tanah
inilah kemudian Muritno menggantungkan harapan di Desa Tanjung Kesuma. Ia pun kemudian
membawa istrinya untuk hijrah dari
Sekampung dan berdomisili di Desa Tanjung Kesuma hingga sekarang.
Di tanah
inilah Muritno pagi ini beraktifitas, mengatur aliran air dari satu petak-ke
petak lainnya. Sembari Ia membetulkan pematang sawah. Saya sempat tertegun
menyaksikan orang seusia Muritno masih kuat mengayunkan cangkul ketanah, untuk
diambil dan digunakan untuk menambal pematang sawah yang mulai koyak karena
tergerus air dan orong-orong.
Muritno
seolah baru saja mengomunikasikan manfaat hidupnya. Jika ada pematang sawah
rusak, ia harus membenahinya. Selain untuk menjaga ketersediaan air, pematang yang
kuat juga memudahkan untuk dilalui dirinya sendiri. Muritno juga yakin bahwa pematang
ini juga pasti menjadi tempat melintas orang lain. Baik itu orang dewasa yang
hendak kesawah, atau anak anak yang hendak bermain di pematang sawah. (yl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar