Pertanyaan tentang
cara menjaga konsistensi ini pernah muncul dalam sebuah forum diskusi
online. Tema ini menarik. Karena menyangkut hal yang
bersifat personal, dan tidak mudah di kemukakan pada sembarang orang.
Berikut ini
adalah pokok-pokok ulasan diskusi yang kemudian di luaskan menjadi
sebuah tulisan. Tentu saja tulisan ini telah mengalami penyuntingan
disana-sini.
"Jika
Anda memiliki suatu konsep, apa motivasi Anda hingga bisa menjaga
konsistensi itu dalam suatu tindakan"?. Sang penanya kemudian menambahkan bahwa Ia adalah orang yang cepat merasa bosan dengan sebuah aktivitas
yang monoton.
Pertanyaan
ini sangat bisa dimengerti. Karena kerap juga dialami oleh banyak orang termasuk penyunting sendiri he he. Hal inilah yang menjadi menarik.
Perlu Visi yang Ditajamkan
Secara
teoritis, Setiap konsep pastilah selalu ada visinya. Visi itu hanya bisa di gerakkan dengan Misi yang dijalankan secara konsisten. Oleh karena itu sebuah visi harus selalu
ditajamkan.
Namun demikian pada praktiknya sebuah rencana terkadang
belum memiliki visinya yang
jelas betul. Pada saat itu visi juga dijalankan dengan misi yang agak bias. Dampak
akhirnya adalah dijalankan kurang konsisten.
Apakah Watak dan Kepribadian Berpengaruh?
Pada awal diskusi juga sempat berkembang kemungkinan
penyebab ketidak konsistenan adalah berhubungan dengan watak dasar seseorang.
Salah seorang teman diskusi merasa bahwa ketidak
konsistenan adalah sebuah kelemahan. Perpaduan empat watak dasar Sanguin, Melankolis,
Koleris dan plegmatis kerap membuat seseorang tak bertindak konsisten (karakternya suka loncat-loncat). Sementara jika menggunakan pendekatan lain, orang yang tidak
suka pada hal-hal monoton sebenarnya adalah orang yang dinamis dalam berfikir dan bertindak. Orang golingan ini biasanya menyukai tantangan
dan menginginkan terjadi pembaharuan setiap saat.
Hingga pada menganalisa jika karakter ini di letakkan
pada perspektif aktifitas yang rutin (dari sisi waktu, tempat, situasi, dan
relasi) yang sama, tentu sangt membosankan. Karena sebetulnya pikirannya sudah
mengajak bergegas untuk berpindah waktu, tempat, situasi dan relasi.
Pertanyaan dasarnya adalah: Perlukah aktifitasnya yang berpindah (berubah
waktu, tempat situasi dan relasinya) atau sudut pandang nya lah yang harusnya diubah-ubah
Perlu Perpindahan Sudut Pandang
Pada seseorang yang telah memiliki cukup bekal baik teori maupun praktik, sebenarnya
berpindah pola pikir bukanlah hal yang sulit. Apalagi sseorang yang telah memiliki
penguasaan sisi
psikologis yang kokoh, mental spiritual nya bagus.
Seyogyanya tak perlu terjebak pada teori watak (atau
perpaduannya) secara
kaku. Karena justru ini yang akan menjadi penyekat. Jika boleh member saran, daripada kembali menjebakkan
diri pada kerangka teori perwatakan,
pada tingkatan ekstrim sebaiknya kuburkan saja
sederet teori tentang personality.
Menelaah Manfaat Diri
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai manfaat diri. Ketika diskusi berjalan, ada seseorang yang merasa belum bisa banyak berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk banyak orang. Sementara ia bergelut dengan perasaannya jika melihat pengemis, gelandangan dan pemulung, yang tidur disembarang
tempat, makanpun
mengis bekas orang
lain. Fakta lain yang tidak kalah
mempengaruhi emphatinya yang dalam adalah ketika melihat pra penjual yang dagangan nya tidak laku, orang tua yang masih mengorbankan
waktu, ternaga dan pikirannya untuk cari nafkah dan berjuang bagi kehidupan rumah
tangganya.
Tindak lanjut dari rasa empati ini adalah tumbuhnya
niat kuat untuk bisa membantu. Namun karena kondisinya belum memungkinkan untuk
membantu meringankan
beban orang lain. Ia justru bingung dengan pertanyaan “membantunya
dengan apa dan bagaimana caranya?”. Adapun keinginan itu jemakin berkembang hingga tingkatan lebih riil yaitu ingin menciptakan lapangan kerja buat mereka.
Namun demikian keinginan ini dihadang lagi dengan fakta, cara apakah yang harus
ditempuh?
Meluaskan Manfaat: Kualitas atau Kuantitas?
Setiap orang itu memiliki cara berbeda meluaskan manfaat
diri. Jika tolak ukurnya adalah manfaat untuk orang banyak, itu seberapa banyak? Sepuluh, seratus
atau seribu. Siapa sajakah dan dimana sajakah
orang banyak itu? Hemat
saya, Itu bukanlah
sebuah pertanyaan yang mesti dijawab.
Namun hal diatas bisa dijadikan sebagai sebuah tema
yang mesti kita pikirkan. Kalau sudut pandangnya kita letakkan pada perspektif "orang
banyak" itu sebagai jumlah, maka jumlah puluhan, ratusan sampai
ribuan, adalah sederet angka
belaka. Apakah itu yang hendak di ukur?
Bagaimana jika diluaskan sudut pandangnya ke value (nilai)
berupa manfaat.
Rasanya tak perlu mengukur seberapa banyak (quantity), tetapi seberapa besar
manfaat itu bagi orang lain (quality).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar