Kamis, 28 April 2016

Bagaiman Menjaga Konsistensi Tindakan Terhadap Sebuah Rencana (GGHI)

Melakukan sebuah tindakan secara konsisten adalah prasyarat utama dalam mewujudkan sebuah rencana.
Pertanyaan tentang cara menjaga konsistensi  ini pernah muncul dalam sebuah forum diskusi online. Tema ini menarik. Karena menyangkut hal yang bersifat personal, dan tidak mudah di kemukakan pada sembarang orang.
Berikut ini adalah pokok-pokok ulasan diskusi yang kemudian di luaskan menjadi sebuah tulisan. Tentu saja  tulisan ini telah mengalami penyuntingan disana-sini.
"Jika Anda memiliki suatu konsep, apa motivasi Anda hingga bisa menjaga konsistensi itu dalam suatu tindakan"?. Sang penanya kemudian menambahkan bahwa  Ia adalah orang yang  cepat merasa bosan dengan sebuah aktivitas yang monoton.
Pertanyaan ini sangat bisa dimengerti. Karena kerap juga dialami oleh banyak orang termasuk penyunting sendiri he he.  Hal inilah yang menjadi menarik.
Perlu Visi yang Ditajamkan
Secara teoritis, Setiap konsep pastilah selalu ada visinya.  Visi itu hanya bisa di gerakkan  dengan Misi yang dijalankan secara konsisten.  Oleh karena itu sebuah visi harus selalu ditajamkan.
Namun demikian pada praktiknya  sebuah rencana terkadang belum memiliki visinya yang jelas betul.  Pada saat itu visi juga dijalankan dengan misi yang agak bias. Dampak akhirnya adalah dijalankan kurang konsisten.
Apakah Watak dan Kepribadian Berpengaruh?
Pada awal diskusi juga sempat berkembang kemungkinan penyebab ketidak konsistenan adalah berhubungan dengan watak dasar seseorang.
Salah seorang teman diskusi merasa bahwa ketidak konsistenan adalah sebuah kelemahan. Perpaduan empat watak dasar Sanguin, Melankolis, Koleris dan plegmatis kerap membuat seseorang tak bertindak konsisten  (karakternya suka loncat-loncat).  Sementara  jika menggunakan pendekatan lain, orang yang tidak suka pada hal-hal monoton sebenarnya  adalah orang yang dinamis dalam berfikir dan bertindak.  Orang golingan ini biasanya menyukai tantangan dan menginginkan terjadi pembaharuan setiap saat.
Hingga pada menganalisa jika karakter ini di letakkan pada perspektif aktifitas yang rutin (dari sisi waktu, tempat, situasi, dan relasi) yang sama, tentu sangt membosankan. Karena sebetulnya pikirannya sudah mengajak bergegas untuk berpindah waktu, tempat, situasi dan relasi.
Pertanyaan dasarnya adalah: Perlukah aktifitasnya yang berpindah (berubah waktu, tempat situasi dan relasinya) atau sudut pandang nya lah yang harusnya diubah-ubah
Perlu Perpindahan Sudut Pandang
Pada seseorang yang telah memiliki cukup bekal baik teori maupun praktik, sebenarnya berpindah pola pikir bukanlah hal yang sulit. Apalagi sseorang yang telah memiliki penguasaan sisi psikologis yang kokoh, mental spiritual nya bagus.
Seyogyanya tak perlu terjebak pada teori watak (atau perpaduannya) secara kaku. Karena justru ini yang akan menjadi penyekat.  Jika boleh member saran, daripada kembali menjebakkan diri pada kerangka teori perwatakan,  pada tingkatan ekstrim sebaiknya kuburkan saja sederet teori tentang personality.
Menelaah Manfaat Diri
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai manfaat diri.  Ketika diskusi berjalan, ada seseorang  yang merasa belum bisa banyak berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk banyak orang. Sementara ia bergelut dengan perasaannya jika melihat pengemis, gelandangan dan pemulung, yang tidur disembarang tempat, makanpun mengis bekas orang lain.  Fakta lain yang tidak kalah mempengaruhi emphatinya yang dalam adalah ketika melihat  pra penjual yang dagangan nya tidak laku, orang tua yang masih mengorbankan waktu, ternaga dan pikirannya untuk cari nafkah dan berjuang bagi kehidupan rumah tangganya.
Tindak lanjut dari rasa empati ini adalah tumbuhnya niat kuat untuk bisa membantu. Namun karena kondisinya belum memungkinkan untuk membantu meringankan beban orang lain. Ia justru bingung dengan pertanyaan “membantunya dengan apa dan bagaimana caranya?”. Adapun keinginan itu jemakin berkembang  hingga tingkatan  lebih riil yaitu ingin menciptakan lapangan kerja buat mereka. Namun demikian keinginan ini dihadang lagi dengan fakta, cara apakah yang harus ditempuh?
Meluaskan Manfaat: Kualitas atau Kuantitas?
Setiap orang itu memiliki cara berbeda meluaskan manfaat diri. Jika tolak ukurnya adalah manfaat untuk orang banyak,  itu seberapa banyak? Sepuluh, seratus atau seribu. Siapa sajakah dan dimana sajakah orang banyak itu? Hemat saya, Itu bukanlah sebuah pertanyaan yang mesti dijawab.
Namun hal diatas bisa dijadikan sebagai sebuah tema yang mesti kita pikirkan. Kalau sudut pandangnya kita letakkan pada perspektif "orang banyak" itu sebagai jumlah, maka jumlah puluhan, ratusan sampai ribuan, adalah sederet angka belaka.  Apakah itu yang hendak di ukur?

Bagaimana jika diluaskan sudut pandangnya ke value (nilai) berupa manfaat. Rasanya tak perlu mengukur seberapa banyak (quantity), tetapi seberapa besar manfaat itu bagi orang lain (quality).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar