Jumat, 29 April 2016

Semangat Pagi Pak Tani

Lampung Timur, Pagi hari bagi Mbah Muritno (80 tahun) adalah waktu berharga untuk mengawali semua aktifitas. Pagi ini Ia segera bergegas ke sawah untuk mempersiapkan lahan yang akan ditanami padi.

Pada usia yang tidak muda lagi, kakek dari 1 orang buyut ini tetap semangat melakukan pekerjaan bertani. Layaknya orang muda lainnya, Mbah Muritno masih gesit membari memegang cangkul jalan di pematang sawah.

Sembari duduk sesaat di gubuk, saya berbincang dengan Mbah Muritno. Mbah Muritno lahir Karang Anyar (Jateng)  Mei 1935. Ia menghabiskan masa kecil hingga lulus STM di Karang Anyar di lingkungan kelurganya. Ia sudah harus berpisah dengan Orang tuanya yang telah lebih dahulu merantau ke Lampung sejak ia masih di Sekolah Dasar.

Muritno pertama kali ia menginjak tanah di Lampung pada 1959. Ia merantau ke Lampung bukan untuk menyusul orang tuanya. Beragam pekerjaan dan usaha pernah ia jalani. Mulai dari bekerja di PLN (Sebagi penunggu mesin)  hingga menjdi anak buah kapal yang melaut.

Baru pada tahun 1962 ia bisa berkumpul orang tuanya di Sekampung Lampung Timur. Ia kemudian menjadi pedagang beras yang ia ambil dari Sekampung kemudian dijual ke Pasar Metro. hingga menampung hasil bumi milik warga masyarakat untuk kemudian ia jual kembali ke pasar. Ia Menikah pada tahun 1965. 

Keseharian Muritno dilalui dengan kerja keras. Dengan mengayuh sepeda membawa karung Muritno berkeliling dari dari stu kampung ke kampung lain. Ia membeli Hasil bumi dari warga masyarakat untuk kemudian ia jual kembali.

Hingga pada tahun 1972, satu hari ia bekeliling mulai dari ke Desa Bumi Jawa (Sekarang Masuk di Kecamatan Batang Hari Nuban, Lamtim) ia di tawari 2 karung Tiwul (makanan berbahan dasar singkong) untuk di beli. Maka ia pun membenlinya, namun ia titipkan dulu sementara di rumah si penjual tiwul. Ia kemudian melnjutkan perjalanan ke Desa Taman Asri, Diana ditawari 2 batang pohon kedondong untuk dibeli buahnya. Ia pun kemudian membeli, dan berpesan pada penjual agar buah kedondong itu di jaga hingga waktu pemetikan.

Hari itu juga ia tetap melanjutkan perjalanan hingga ke Desa Tanjung Kesuma. Ia bertemu Sujiono yang dalam perbincangan kemudian menawarkan tanah kepadanya. Singkat cerita Sujiono kemudian menjual tanah seluas  7.500 meter persegi  seharga Rp. 60.000, kepada Muritno. Menurut Muritno tanah ini mulanya semak belukar. Sekalipun sudah ada pematang (Karena telah di cetak sawah), namun kondisinya tidak terurus.

Melalui tanah inilah kemudian Muritno menggantungkan harapan di Desa Tanjung Kesuma. Ia pun kemudian membawa istrinya untuk hijrah dari Sekampung dan berdomisili di Desa Tanjung Kesuma hingga sekarang.

Di tanah inilah Muritno pagi ini beraktifitas, mengatur aliran air dari satu petak-ke petak lainnya. Sembari Ia membetulkan pematang sawah. Saya sempat tertegun menyaksikan orang seusia Muritno masih kuat mengayunkan cangkul ketanah, untuk diambil dan digunakan untuk menambal pematang sawah yang mulai koyak karena tergerus air dan orong-orong.

Muritno seolah baru saja mengomunikasikan manfaat hidupnya. Jika ada pematang sawah rusak, ia harus membenahinya. Selain untuk menjaga ketersediaan air, pematang yang kuat juga memudahkan untuk dilalui dirinya sendiri. Muritno juga yakin bahwa pematang ini juga pasti menjadi tempat melintas orang lain. Baik itu orang dewasa yang hendak kesawah, atau anak anak yang hendak bermain di pematang sawah.  (yl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar